|

Catatan Napak Tilas Tumbang Anoi ; Agenda Besar Masyarakat Dayak

SEKADAU (Suara Sekadau) - Desa Tumbang Anoi adalah sebuah desa yang cukup terpencil dari Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah.

Jarak dari desa Tumbang Anoi menuju kota Palangka Raya kurang lebih 6 jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.

Nama Tumbang Anoi begitu dikenal oleh masyarakat Dayak. Sebab, Disinilah lahir seorang penggagas Hak Azasi Manusia kaum Dayak se pulau Borneo, yakni Damang Batu.

Hingga tahun 1894, sesama suku Dayak di pulau Borneo masih mempraktikkan budaya saling membunuh atau memenggal kepala musuh. Ini dikenal dengan istilah "Ngayau".

Pada tahun 1894, kala itu masih dalam masa kolonialisme Belanda, tercetus sebuah gagasan untuk mengumpulkan seluruh orang sakti, panglima, dari semua sub suku Dayak di Tumbang Anoi.

Pada waktu itu di Tumbang Anoi hidup sekitar 70 kepala keluarga suku Dayak Kahayan yang menganut kepercayaan Kaharingan.

Berangkat dari keinginan untuk menghentikan budaya Ngayau, perbudakan, dan lain-lain, maka dikumpul lah perwakilan sub suku Dayak seluruh pulau Borneo. Bahkan dari Sabah, Serawak dan Brunei ikut hadir dalam pertemuan 125 tahun silam itu.

Pertemuan tersebut seolah menjadi prasasti yang sakral, yang sangat dihormati dan dipatuhi seluruh masyarakat dayak. Sejak pertemuan itu kegiatan Ngayau, perbudakan antar sesama suku Dayak berangsur-angsur berhenti. Masyarakay Dayak pun mulai memeluk agama.

Napak Tilas Perjanjian Damai Tumbang Anoi dan Seminar Internasional yang diselenggarakan pada 22-24 Juli 2019 merupakan momen yang bersejarah bagi masyarakat Dayak.

Eskpedisi itu menghasilkan beberapa kesepakatan. Yang utama agar pemerintah pusat bisa mengakomodir kepentingan suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Karena, selama ini kekayaan suku Dayak di Pulau Borneo telah habis terkuras. Kayu, tambang dan kekayaan alam lainnya mulai kritis.

Berbanding terbalik dengan kehidupan warga Dayak masih cukup tertinggal. Baik sarana pendidikan,infrastruktur serta sarana kesehatan. Khususnya di daerah pedalaman.

Miskinnya sarana prasarana tersebut dinilai sangat menganggu kemajuan warga Dayak.

Dengan berkumpul kembalinya perwakilan seluruh warga Dayak pulau Borneo di Tumbang Anoi setelah 125 tahun, momen ini kian menguatkan semangat persatuan Dayak. Dengan persatuan yang kuat, apa yang dicita-citakan tentunya sangat mungkin terwujud.*

Penulis : tim liputan
Editor : Benidiktus G Putra
Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini